Jumat, 21 Oktober 2016

Komunikasi Seksual untuk Namie Gadis Cantik Kami


Menjelang ulangtahun anakku yang ke-15 aku dikagetkan oleh sebuah tayangan yang diunggah oleh situs umum yang bisa saja diakses oleh anak-anak. Adegan demi adegan sepasang anak manusia yang melakukan hubungan seksual dengan jelas dapat dilihat di situs tersebut.
Wajar bagiku dan Mami untuk kuatir dengan hadirnya tayangan tersebut mengingat perkembangan anakku tak mungkin bisa kami kendalikan tanpa adanya kendali dari anakku sendiri. Internet tentu menjadi kebutuhan bagi anakku yang sudah mulai dewasa dan menjadi alat bantu dalam menemukan solusi baik untuk pendidikannya, hobby, juga hiburan.
Maka malam itu menjadi malam yang panjang bagi kami berdua untuk membicarakan solusi pendidikan seks bagi permata buah hati kami. Apa yang sebetulnya yang kami butuhkan untuk membuat Namie tidak kesulitan menghadapi tantangan masa depannya berupa perilaku seksual yang kami tahu bahayanya jika tidak disikapi dengan baik oleh kami dan Namie sendiri.
Beberapa kabar yang sering kami dengar dari banyak lembaga yang mengusulkan pendidikan seks usia remaja sangat bingar bahkan menjadi riuh tak terarah dengan pendapat pro dan kontra. Kami sama sekali tidak menemukan solusi yang benar-benar efektif dan aplikatif dalam menghadapi masalah ini. Hanya membuat kami semakin bingung dengan apa yang sesungguhnya sedang terjadi, apakah mereka melihat urgensi dari tantangan jaman tersebut sebagai masalah yang mesti didapatkan solusinya atau hanya sarana bagi mereka mencari eksistensi ketika berretorika di media.
Sudahlah, aku tidak mau berdiskusi tentang masalah atau personal yang berkaitan dengan pendidikan seks remaja ini, yang aku butuhkan hanyalah ide bagi kami sekeluarga untuk mendapatkan dan menyiapkan yang terbaik bagi kami. Toh masalah ini sebetulnya adalah masalah keluarga biasa bukan masalah nasional apalagi internasional, hanya saja menjadi mengemuka jadi wacana internasional karena anak adalah generasi yang akan mengendalikan dunia ini di masa depan. Itu pun jika memang mereka menginginkan anaknya hidup di dunia yang lebih baik.
Kembali kepada masalah keluargaku, latar belakang aku sebagai mantan mahasiswa MIPA dan Mami seorang pengusaha yang memulai karir dari bidang marketing secara pengetahuan tidaklah sulit bagi kami memberikan pengetahuan kepada Namie anatomi faal tubuh dan perkembangannya sehingga membuat manusia memiliki kebutuhan biologis berupa hubungan seksual. Atau Mami yang menjelaskan dampak ekonomi yang terjadi akibat kesalahan dalam mensikapi perilaku seksual remaja.
Namun sebagai orangtua yang pernah mengalami masa remaja, kami yakin tanpa kami jelaskan panjang lebar dalam diskusi ruang keluarga kami pun Namie sudah mendapatkan pengetahuan itu di pelajaran sekolah seperti yang pernah kami alami pada masa kami remaja. Apalagi sekarang secara audio visual sangat mudah mendapatkan penjelasan anatomi faal tubuh melalui infografik yang didapat melalui internet.
Namie yang memiliki kegemaran dan minat di bidang broadcasting dan teknologi informasi justru malah menjadi tantangan lain bagi kami dalam memberikan pencerahan bagi Namie mensikapi masalah hubungan seksual ini. Mustahil bagi kami membatasi Namie menggunakan fasilitas internet yang menjadi kegiatan kesehariannya. Kami hanya memberikan peringatan berupa sanksi jika Namie kedapatan sengaja membuka akses internet yang menayangkan adegan hubungan seksual dengan hukuman komputer, laptop, dan hapenya kami bakar.
Kami juga gak bodoh amat sih memberikan peringatan seperti itu, kami tau persis bagaimana cara menghilangkan riwayat penjelajahan internet bukan tidak mungkin Namie pun tau itu. Retorik pragmatiskah,...? tentu saja kami sadar itu retorik pragmatis, tapi setidaknya membuat Namie semakin berhati-hati dan menghindari resiko tersebut. Apalagi Namie jelas turunan seorang yang lihai mengakali kenakalan sewaktu remaja seperti kami. Pernyataan yang jujur ini memang harus kami akui mengingat kami pernah mengalami hal itu dan ingin anak kami tidak mengulanginya sehingga menjadi keluarga yang lebih baik.
Hingga akhirnya polemik yang bergulir dari hari ke hari selama sebulan ini pun mendapatkan jawabnya tadi malam setelah kami menonton sebuah film di bioskop yang menjelaskan bagaimana sifat seorang ayah bisa menurun kepada anaknya meskipun terpisah jauh dan tidak pernah bertemu hingga usia remaja.
Kami menamakannya teori “Komunikasi Seksual” bukan lagi pendidikan seksual remaja. Kami sadar bahwa kebutuhan seksual ini bukan hanya masalah bagi remaja tapi juga orangtua seperti kami. Bagaimana kami memandang urgensi dari hubungan seksual sebagai sebuah ritual dalam komunikasi yang terbatas dan memiliki urgensi yang sangat tinggi sehingga jika memungkinkan adanya jalan lain maka hubungan seksual tidak menjadi prioritas lagi apalagi jika harus melewati batasan yang sangat berresiko.
Mengingat batasan yang melingkari remaja dalam melakukan hubungan seksual ini maka akan dengan mudah kami menjelaskan kepada Namie mengenai resiko dan hambatan yang akan tercipta jika Namie melakukan hubungan seks diluar nikah apalagi sebelum berada di titik karir yang aman di masa depan.
Nyata bagi kami untuk menjelaskan kepada Namie bahwa kebutuhan seksual menjadi kebutuhan hanya berlaku kepada pasangan suami istri yang sudah memiliki komitmen sebagai cara untuk memelihara komitmen nyata bukan komitmen ngasal apalagi gombalan yang melambungkan hayal.
Mungkin sudah saatnya bagi kami justru bukan lagi mengajarkan kepada anak soal anatomi faal tubuh atau konsekuensi dari perilaku seksual, tapi bagaimana sepasang orangtua melakukan hubungan seksual. Nekad tapi memang kukira ini perlu untuk disampaikan agar Namie memahami dengan sendirinya serta mudah untuk mengaplikasikan dalam kehidupan keseharian sehingga tindakan ini berubah dari sekedar nekad menjadi sebuah keberanian sepasang orangtua untuk menyelamatkan anaknya di masa depan.
Pertama bahwa apa yang membedakan manusia dan binatang dalam perilaku seksual adalah proses dan tujuannya. Binatang bisa melakukannya dengan siapa saja sejenisnya atau bukan, bisa melakukan dengan cara apapun, dimanapun, dan kapanpun dengan tujuan apapun karena mereka binatang. Sementara manusia harus melakukannya dengan adab sehingga tidak boleh dengan sembarang orang, dengan cara yang beradab, ditempat yang beradab dengan tujuan yang juga sangat berpertimbangan sehingga tidak mengganggu kehidupan pribadi dan sosialnya.
Proses hubungan seksual yang dilakukan dengan singkat dan tidak berkelanjutan hanya akan menimbulkan masalah. Mulai dari masalah kecanduan hingga pelanggaran hukum pidana yang memberinya predikat kriminal. Tidak sedikit bahkan pasangan suami istri yang justru bercerai karena masalah hubungan seksual yang singkat apalagi pasangan pacaran. Inilah sebabnya mengapa pasangan pengantin baru dianjurkan untuk menempati rumah tinggal sendiri yang tak lain untuk menghindari hubungan seksual singkat seperti ini.
Begitu pula dengan kamar orangtua yang aksesnya dibatasi bagi anak tak lain adalah tujuan dari terhindarnya orangtua dari masalah hubungan seksual singkat yang bisa berakibat fatal dalam hubungan rumah tangga mereka. Hal ini berkaitan dengan poin kedua dalam bahasan komunikasi seksual bahwa hubungan seksual bagi manusia yang beradab bukanlah sekedar intercourse kemudian masing-masing membersihkan diri setelah mencapai orgasme di puncak hubungan seksual ini.
Pasangan yang sudah melakukan hubungan seksual semestinya melakukan komunikasi sebelum dan sesudah melakukan hubungan seksual. Hal ini tidak akan terjadi pada pasangan yang mengesampingkan kualitas hubungan seksual. Contoh komunikasi yang mestinya dibahas setelah usai melakukan hubungan seksual tentu saja tidak akan aku jelaskan disini karena bisa saja tulisan ini dibaca oleh anak dan kurasa lebih baik jika kengkawan membicarakannya langsung denganku.
Komunikasi setelah menjalani hubungan seksual tidak hanya menambah erat hubungan antar pasangan dalam rumah tangga juga meninggikan derajat kualitas hubungan seksual dan membedakannya dengan hubungan seksual berbayar yang dijajakan oleh Pelaku Seks Komersil (PSK). Kengkawan yang sudah memahami hal ini tentu tidak mau jika hubungan seksualnya disamakan kualitasnya dengan bercinta dengan PSK yang seusai melakukan hubungan seksual langsung pergi begitu saja meninggalkan penggunanya karena urusannya sudah selesai dan hanya sampai disitu saja tanggung jawabnya.
Sedangkan bagi pasangan manusia yang beradab tentu hubungan seksual menjadi tanggung jawab bersama pasangan tersebut tidak hanya sekedar mengantarkan pasangan hingga mencapai puncak hubungan seksual berupa orgasme.
Ketiga adalah bahwa ada masalah dalam berumahtangga yang hanya bisa diselesaikan dengan hubungan seks. Jelas aku menuliskannya ‘masalah dalam berumahtangga’ bukan masalah dalam hubungan pacaran. Ini semacam fenomena kehidupan yang sulit untuk dijelaskan kecuali bagi orang yang sudah mencapai pengetahuan tentangnya. Sama persis seperti fenomena bahwa ada dosa yang tidak dapat terhapuskan bagi semua laki-laki selain dengan melakukan kegiatan diluar rumah.
Aku akan menjelaskan kepada Namie bahwa justru jika melakukan hubungan seksual diluar status Superman dan Wonderwoman rumahtangga hal ini malah menambah dosa dan beban dalam menghadapi kehidupan. Hubungan seksual dalam hubungan rumahtangga justru menjadi sebuah azimat yang melanggengkan rumahtangga dengan catatan dilakukan secara beradab dan sesuai dengan hukum yang diakui. Tapi seperti hal lainnya dalam hidup, azimat ini memiliki anomali karena jika tidak dilakukan dengan sepenuhnya bertanggung jawab akan menjadi ancaman serius.
Sebetulnya tidak sulit bagi aku menjelaskan kepada kengkawan yang sudah berumahtangga karena ini tidak lain dari sebagai kewajiban menafkahi pasangan dengan nafkah batin. Namun bahasa nafkah batin menjadi sangat samar bagi Namie sehingga aku membahasakannya seperti ini.
Demikianlah setidaknya pengetahuanku sebagai orangtua yang sedang mengalami fase dimana harus menghadapi tantangan hidup untuk menjaga buah hati dan memberikan pengetahuan yang sesuai dengan pemahaman kepada anak kami. Hanya sebuah ide yang menghindarkan kami dari riuh pro dan kontra pendidikan seksual remaja yang terjadi saat ini.
Tulisan ini pun aku buka untuk Namie agar bisa membacanya, mengerti, dan memahami kerisauan kami sebagai orangtua akan kehidupan masa depannya. Dan sebagai pertanggungjawaban kami kepada Tuhan yang memberikan kami seorang anak gadis perempuan yang cantik, cerdas, dan pintar (seperti Papi dan Maminya). Semoga Papi Apit dan Mami selalu bisa menemani dan menjaga kamu dengan keterbatasan ilmu dan pengetahuan yang kami miliki. Kami selalu mencintai kamu dan keluarga kita. We Love You Namie Sisilia Angeli.
 Selamat Datang di Dunia Remaja yang lebih rumit dari sebelumnya.

_KDC & Renita_
21 Oktober 2016

Menghidupkan Kembali Ruang Keluarga


Memiliki anak sebagai anugerah penerus generasi dari Sang Maha Pencipta tentu menghadirkan kesenangan dan kebahagiaan tersendiri bagi setiap pasangan manusia di dunia. Bahkan keberadaan anak selalu dikaitkan dengan keutuhan satu hierarki keluarga. Tak seorang pun yang ingin dan berencana untuk memiliki keturunan yang kualitasnya tidak lebih baik apalagi lebih buruk dari kualitas diri dan keluarganya.
Oleh karena itu setiap anak memiliki ruang khusus dalam pemikiran keluarga hingga suatu negara dalam kaitannya sebagai generasi penerus. Tak heran jika kemudian anak dijadikan sandaran harapan akan masa depan yang lebih baik dalam segimental, material maupun spiritual.
Perhatian kepada anak sebagai generasi harapan di masa depan meyentuh sisi pendidikan anak. Beragam cara dan motivasi mulai ditanam dan tumbuh kembangkan kepada anak sedari bayi oleh orangtua, negara, bahkan kehidupan internasional terbukti dengan didirikannya lembaga pendidikan khusus untuk anak mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini hingga badan internasional Unicef.
Tujuan dari lembaga ini tidak lain dari kesadaran akan pentingnya pendidikan dalam menanamkan nilai baku dalam benak anak sebagai bekal menghadapi masa depan. Uniknya ada perbedaan yang niscaya terjadi dalam nilai baku ini, setiap anak di setiap generasi memiliki tantangan khas tersendiri di jamannya yang mungkin tidak dialami oleh pendidiknya. Tentu saja ini menjadi tantangan serius pendidik dalam mempersiapkan regenerasinya sebagai contoh pola pendidikan anak generasi 90’an tentu saja berbeda dengan generasi millenial dan seterusnya.
Perbedaan tantangan penerapan nilai baku pendidikan anak bersifat dinamis dan eskalatif. Kadang tantangan ini mengalami perkembangan yang sangat cepat dan sulit diprediksi, sebagai contoh pola pendidikan anak generasi 80’an tidak berbeda jauh dengan pola pendidikan anak generasi 90’an tetapi hal ini terasa jauh perkembangannya dengan pola pendidikan anak generasi millenial.
Sangat sulit bagi orangtua anak generasi 80-90’an untuk mengajak anaknya belajar atau berkumpul bersama keluarga selepas petang menjalin komunikasi interkomunal keluarga. Pada generasi millenial komunikasi interkomunal menjadi lebih mudah dengan teknologi yang memungkinkan terjalinnya pertukaran komunikasi jarak jauh, sehingga tidak sulit untuk mendapatkan informasi posisi anak disaat dibutuhkan berkomunikasi. Maka tantangannya pun berubah, jika tantangan generasi sebelumnya adalah mensikapi anak pulang malam maka di generasi millenial tantangannya adalah mensikapi anak pulang pagi.
Padahal jika dicermati tidak ada perubahan yang signifikan dalam nilai baku pendidikan anak ini hanya pola pensikapan dan kesiapan pendidik saja. Contoh, jika generasi 80-90’an sangat mudah mengevaluasi anak dikarenakan proses evaluasi berlangsung verbal-visual, siapkah pendidik mengevaluasi anak yang menghindari pola evaluasi verbal-visual dan memilih komunikasi tekstual. Anak sulit diajak videocall karena keterbatasan biaya komunikasi, sementara evaluasi secara verbal dan tekstual jelas sangat samar kecuali bagi beberapa orang yang sudah terbiasa melakukan evaluasi secara verbal dan tekstual. Bagaimanapun bahasa tubuh (gesture) dan intonasi ikut berperan sangat penting dalam mengevaluasi perkembangan sikap anak.
Jika anak berperan sangat penting dalam menentukan masa depan keluarga, lingkungan, negara, hingga dunia. Maka keluarga tidak dapat dinafikan sebagai penanggung jawab pertama dan utama dalam pendidikan anak. Tidak sedikit anak yang rajin, pintar dan cerdas secara akademisi namun kadang kesulitan menjawab beberapa hal penting berkaitan dengan komunikasi interpersonal seperti “Berapa sering anda memeluk orangtua anda dan berapa lama durasinya?”. Sebut saja jika hal ini menjadi sebuah pertanyaan dalam tes kenaikan jenjang karir anak, siapa yang bisa disalahkan?. Tentu saja bukan kesalahan guru karena pertanyannya menunjuk kepada orangtua bukan guru atau anggota keluarga lain juga orang sekitarnya.
Kebiasaan untuk saling menghormati keberadaan dan hirarki, juga menghargai eksistensi anggota keluarga terutama orangtua sangat berpengaruh kepada sikap simpati dan empati anak sehingga anak menjadi lebih jujur dan adil dalam bersikap dan bertanggung jawab. Jika anak sudah bersikap dan bertanggung jawab dengan adil maka masa depannya tentu akan lebih cemerlang dan memperbaiki nilai keluarga dan sosialnya.
Masalah lain dalam penerapan pola pendidikan anak seperti ini adalah kehadiran orangtua bagi anak. Apakah orangtua selalu hadir sebagai orang pertama yang memberikan stimulus dalam memecahkan solusi yang dihadapi anak pada saat itu atau tidak?.
Menginjak kepada dunia modern yang dihadapi generasi millenial kita seringkali dihadapkan pada bentang jarak yang terlalu lebar dalam komunikasi dengan anak. Meskipun secara teknologi sudah disiapkan kemudahan dalam menjalin informasi namun harus disadari bahwasanya terkadang kita sendiri tidak memiliki kesiapan dan keterbatasan dalam menggunakan teknologi tersebut secara maksimal terutama dalam hal pembiayaan, keterbukaan pihak yang menjalin komunikasi dan pemahaman inti komunikasi sehingga sering terjadi gagal paham dalam komunikasi.
Disisi lain ada interaksi yang tidak bisa diwakilkan oleh teknologi seperti penggunaan indera dalam komunikasi. Pelukan orangtua kepada anak dalam banyak penelitian disebutkan mampu meredam konflik bagi anak. Bahkan ciuman di kening anak memberikan stimulus untuk anak merasa lebih percaya diri dan yakin memiliki dukungan penuh dari orangtuanya.
Menyempatkan diri untuk bersama-sama belajar, bercengkerama, dan berfikir menemukan solusi diantara anggota keluarga hingga saat ini sangat diyakini sebagai pola pendidikan anak yang paling efektif dan efisien dari masa ke masa meskipun setiap masa memiliki tantangan yang berbeda. Menghidupkan kembali ruang keluarga tempat setiap anggota keluarga kembali dari setiap aktivitasnya sebelum istirahat di malam hari bukan hal yang sulit dikerjakan. Menyempatkan makan malam bersama, dialog mencari solusi masing-masing anggota keluarga dalam forum ruang keluarga membuat anak menyadari kesulitan yang dialami orangtuanya demikian juga orangtua menjadi lebih mengenali eksistensi anak dan tantangan yang dia hadapi saat ini dan dimasa depan tanpa harus mendikte atau memaksakan solusi yang sudah tidak relevan bagi anak.
Sejenak aku teringat bagaimana Namie anak gadisku ketika ditanya mengapa mengakhiri hubungan dengan pacarnya menjelang valentine day tahun lalu, “Dia tidak pernah menghadiahi orangtuanya bahkan seikat bunga pun setiap tahunnya, bagaimana dia bisa memperlakukan pasangannya sementara berterima kasih kepada orang yang menyayanginya sepenuh hati sepanjang hidupnya pun tidak,...” jelas anakku.
Percayalah, tidak sulit membuat anak menghindari hal yang membahayakan baginya di masa depan selama kita tahu dan menjadi contoh bagi anak untuk menghadapi masalah dan mensikapinya bukan sekedar dogma retorik yang membuat anak bosan dan resistan terhadap ajaran yang orangtua berikan.

_KDC, Oktober 2016_

Kamis, 21 Juli 2016




21 Juli saat itu adalah hari Sabtu yang cerah. Jalanan lengang karena hari itu ada di Bulan Ramadhan, biasanya orang keluar rumah di sore hari untuk belanja menu berbuka atau sekedar menanti saat beduk maghrib tiba.

Sabtu itu hari ketiga dari 3 hari Aku melalui liburan bersama dengan Mbak. Liburan bersama pertama yang tidak direncanakan, kami mengobrolkan hal ini empat hari sebelum kami berangkat. Dua hari sebelumnya kami menyusuri Purwakarta, masuk ke pelosok pedesaan Wanayasa, nongkrong di Situ Buleud hingga bergabung dengan atraksi Freestyle BMX di halaman Stasiun Purwakarta sambil ngabuburit. Dan esoknya Aku membawa Mbak ke undangan salah satu kolega yang membuka resort baru di Bandung Utara, seharian disana disuguhi romantisme hutan pinus di kaki gunung Burangrang.

Mbak dan Aku berasal dari dua kota berbeda berpaut ratusan kilometer jaraknya. Kesepakatannya waktu itu adalah Mbak yang mengunjungi kota asalku dan aku menjadi guide. Lain waktu Aku melakukan hal yang sebaliknya. Kebetulan pick up point di Jakarta jadi Aku membawa Mbak mampir sebentar di Purwakarta dalam perjalanan santai.

Uniknya aku dan Mbak sama-sama lupa apa yang kami lakukan pada hari Sabtu tanggal 21 Juli tersebut selepas keluar dari tempat kami menginap di Antapani. Entah saking asyiknya perjalanan kami atau ada satu hal yang membuat semuanya gugur dalam kenangan. Terakhir aku menanyakan hal ini beberapa menit yang lalu pun aku dan Mbak sama-sama lupa, serius beneran lupa kecuali satu hal, Blue Holland Rose.

Kami menunda makan malam dengan tujuan menunggu tempat makan mulai kosong sehingga kami bisa menikmati malam minggu berdua saja. Tempat makan yang menjadi target adalah tempat dinner romantis di Bukit Pakar. Jam 7 malam kami masih menyusuri Jalan Dago dan di perempatan yang dikenal sebagai Simpang Dago itu mataku tertuju kepada seorang ibu bertubuh gempal yang mengenakan jilbab sederhana sedang membereskan dagangannya di trotoar jalan.

Refleks nakalku tetiba datang dan aku langsung turun dari mobil meninggalkan Mbak dan pengendara lain mengular di belakangku. Aku hampiri ibu itu dan membeli bunga Blue Holland Rose yang setauku memang jarang sekali didapat. Beruntung sekali bunga itu ada diantara jajaran bunga yang hendak dijajakan si ibu. aku membalas riuh klakson dengan mengacungkan bunga di tangan dan mengisyaratkan ada orang istimewa di dalam mobil yang sedang menunggu bunga untuk kuberikan. Seketika klakson pun berhenti seolah memaklumi aku.

Entah apa yang ada dalam pikiran Mbak saat itu aku tidak tau, hanya saja aku melihat Mbak bingung antara hendak marah dan senang. Dan itu adalah penanda aku berhasil membuat Mbak terlibat dengan salah satu keisenganku yang menyenangkan seperti yang sudah sering aku ceritakan sebelumnya. Mbak sma sekali tidak menduga dengan apa yang aku lakukan saat itu, membuat kemacetan di jalan utama hanya untuk membelikan dia serangkaian bunga.

Bahkan hingga perjalanan menuju tempat dinner di Bukit Pakar masih aja Mbak salah tingkah. Seolah masih saja gak percaya dengan kejadian yang baru saja dia alami. Mbak yang sebelumnya sudah sering melakukan komunikasi denganku mendadak kembali canggung seolah kembali ke masa perkenalan.

Jika sebelumnya Mbak mungkin pernah mengalami banyak hal romantis dengan siapapun itu, maka saat itu dia heran dengan sikapku yang memberikan kepadanya serangkai bunga dengan sikap yang anarkis dan sama sekali tidak romantis. Pun dengan sikap aku yang super cuek gak seperti lelaki lain yang menyerahkan bunga sambil berlutut disertai banjiran kata pujian.

Hingga saat kami berdua duduk di meja yang ditata sedemikian rupa dengan hiasan lilin nan romantis pun aku sama sekali tidak menunjukkan sikap sebagai seorang yang siap menerkam Mbak dengan pertanyaan pun pernyataan romantis ala anak manusia yang dihinggapi kasmaran. Bahkan aku mendubbing percakapan dua orang pengunjung yang mengisi meja yang gak jauh dari tempatku dan membuat Mbak tertawa ngakak.

Waktu bergerak tak terasa, jam menunjukkan pukul 11 malam dan kami segera kembali ke penginapan. Gak ada sama sekali ucapan kasmaran terlontar dari mulutku. Aku benar-benar membuat Mbak super bingung dengan semua kelakuanku. Meninggalkan tanya apakah Aku melakukan semua itu untuk mencuri hatinya atau hanya insiden biasa saja.

Liburan sudah selesai, kami kembali ke Jakarta dan tibalah saatnya berpisah. Tidak ada tanda-tanda aku akan mengucapkan pernyataan menjalin hubungan lebih serius. Mbak makin bimbang dengan kelakuanku terutama soal Blue Holland Rose yang kuberikan malam itu.

Dua minggu setelah kejadian bunga Blue Holland Rose di Dago, Mbak mengabariku bahwa bunganya layu dan dia ingin aku menemaninya kembali ke Bandung untuk membeli lagi. Aku pura-pura bingung dan bersedia, padahal senang sekali bisa bertemu lagi dengan Mbak seminggu kemudian.

Tepat tanggal 17 Agustus di Kranggan, Mbak menanyakan maksud dari bunga yang aku berikan. Aku baru tau bahwa seikat bunga bisa membuat seorang Mbak yang kukenal sebagai petarung tangguh luluh lantak. Dan saat itu kami berdua sepakat untuk merawat bunga yang lebih tahan lama dan setidaknya tidak usah dicari lagi ke Bandung untuk mendapatkannya. Seikat bunga bernama cinta,...

Entah sampai kapan bunga itu akan bertahan, hanya semoga yang bisa membuatnya terus mekar dan mewangi.

Senin, 23 Mei 2016

Doa untuk Apit

Tidurlah Namie,...
Malam yang sunyi,...
Nyaman damailah kamu,...
Hari yang tadi biarlah sudah,...
Esok kan lebih gembira,...
Doakan Apit banyak uangnya,...
Kau mau beli apa,...
Papi yang baik, banyak waktunya,...
Selalu bermain denganmu,...


Tidurlah Dede,...
Malam yang sunyi,...
Nyaman damailah kamu,...
Hari yang tadi biarlah sudah,...
Esok kan lebih gembira,...
Doakan Mami banyak uangnya,...
Kau mau beli apa,...
Mami yang baik, banyak waktunya,...
Selalu bermain denganmu,...
Jagalah Mami,...
Baik selalu,...
Dia kekasih Papimu,...
Sejak lahirmu,...
Mami selalu sayang padamu,...